Senin, 06 Februari 2012

MENCABUT AKAR KOLONIALISME


Salamuddin Daeng
 
Peneliti Institute for Global Justice- IGJ / jubir petisi 28

Melihat kondisi karut marut ekonomi Indonesia saat ini, dikalangan rakyat berkembang pertanyaan apakah negara dalam arti sesungguhnya telah merdeka atau tidak ?. Untuk menjawab teka teki ini maka cara sederhana adalah dengan mengingat kembali kolonialisme baik teori dan prakteknya. 

Kolonialisme adalah pengembangan kekuasaan sebuah negara atas wilayah dan manusia di luar batas negaranya. Kegiatan ini dimulai dengan konsolidasi dan penguasaan teritorial, diikuti dengan membentuk pemerintahan dan UU dan ditindaklanjuti dengan ekploitasi terhadap sumber daya alam dan manusia sekaligus secara ekstrim. Diatas definisi inilah kita akan menjawab apakah Indonesia telah merdeka atau belum, dan cara mendirikan kembali Indonesia merdeka. 

Bagaimana sesungguhnya kekuasaan pihak asing terhadap territorial Indonesia? Mari kita ambil salah-satu contoh penguasaan teritorial sebuah perusahaan tambang terkaya di dunia yaitu PT Newmont Nusa Tenggara (PT. NNT) di salah satu daerah di Indonesia. Dalam dokumen Kontrak Karya (KK) antara PT NNT dengan pemerintah Indonesia tahun 1986 disebutkan bahwa luas kontrak karya PT NNT adalah 1,127 juta hektar yang meliputi wilayah Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Sementara luas wilayah Pulau Sumbawa adalah 1,438 juta hektar dan luas Pulau Lombok seluas 543 ribu hektar. Ini berarti bahwa luas kontrak karya Newmont setara dengan 57 % luas daratan NTB. 

Di Indonesia luas konsesi yang diberikan negara kepada modal besar dalam bentuk kontrak karya pertambangan, kontrak production sharing migas, kontrak kerja batubara, HGU perkebunan, HPH kehutanan mencapai 175 juta hektar. Jumlah tersebut telah setara dengan 93 % luas daratan Indonesia. Sebagian besar konsesi dikuasai oleh modal asing. Kekuasaan modal besar dan negara-negara maju atas tanah di Indonesia lebih luas dibandingkan apa yang terjadi sepanjang masa Kolonial Belanda. 

Demikian halnya dengan Investasi luar negeri yang masuk ke Indonesia saat ini tampaknya mengambil bentuk investasi kolonial. Investasi semacam ini dikerahkan oleh negara-negara maju dalam upaya pencarian sumber daya alam atau bahan mentah. Sangat jarang bahkan tidak pernah investasi luar negeri dilakukan untuk membangun industri. Investasi luar negeri menjadi bagian dari ekonomi negara asal modal. Hal ini menjadi ciri utama investasi AS, Jepang dan negara-negara Eropa hingga saat ini. 

Perhatikan sebagian besar kegiatan eksploitasi migas dikuasasi modal asing, 85 persen gas diekspor. Seluruh kekayaan mineral dikontrol asing, 75 persen batubara diekspor, sebagian besar hasil perkebunan dialokasikan untuk pasar ekspor. Padahal didalam negeri terjadi kelangkaan sumber-sumber primer yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan nasional dan keperluan rakyat. 

Wajar kemudian tidak ada keterkaitan antara investasi luar negeri dengan kesejahteraan rakyat. Pangalaman sejarah investasi luar negeri sector swasta dapat kita lihat dalam periode sejak tahun 1860 -1970. Pada masa itu, modal swasta luar negeri mendapatkan tempat yang penting dalam kehidupan ekonomi Indonesia. Modal luar negeri ini terutama ditanamkan dalam perusahaan yang bekerja untuk ekspor dan juga dalam beberapa perusahaan yang berhubungan dengan ekspor seperti bank-bank, jalan-jalan, kereta api, pelayaran besar interinsulair, dan perusahaan gas listrik. Berhubungan dengan banyaknya penanaman modal luar negeri maka Indonesia termasuk ke dalam negara-negara debitur terbesar. 

Dalam tahun 1938 Indonesia mengalami keadaan yang sama dengan yang dialami India, dan negara-negara besar Asia lainnya, serta Australia dan Argentina. Modal luar negeri yang ditanam di Indonesia lebih besar daripada Tiongkok, negara yang jauh lebih besar dan mempunyai penduduk lebih banyak. Besarnya modal luar negeri yang ditanam di Indonesia pada masa sebelum perang, ditaksir mencapai angka 5,2 milliard gulden dengan rincian 4 milliar ditanamkan pada perusahaan partikulir dan 1,2 milliar gulden terdiri dari utang pemerintah. Dimasa ini perhitungan investasi luar negeri dan utang luar negeri digabungkan. (Prajudi, 1970 : 142). 

Jumlah investasi luar negeri pada masa sekarang jauh lebih besar, tidak hanya rempah-rempah, perkebunan, akan tetapi meliputi pertambangan, kehutanan dan perikanan. Tiga sector terakhir tidak banyak dikerjakan di masa kolonial Belanda. Selain itu modal luar negeri tidak hanya masuk dalam bentuk investasi, akan tetapi juga melalui utang luar negeri yang jumlahnya juga sangat besar. Saat ini posisi utang luar negeri pemerintah dan swasta sampai dengan akhir tahun 2009 sebesar US$ 172.871 juta (Bank Indonesia, 2010).
Namun apa yang dperoleh bangsa ini dari modal luar negeri ?. Jumlah yang harus dibayarkan ternyata jauh lebih besar dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh. Untuk membayar bunga utang dan cicilan pokok utang luar negeri pemerintah dan swasta mencapai US$ 41.380 juta pertahun. Ditambah dengan cicilan pokok utang dalam negeri pemerintah Rp 39.210 miliar (2008) dan bunga utang dalam negeri pemerintah sebesar Rp 70.857 miliar. Jumlah keseluruhan pembayaran hutang dan cicilan hutang pokok pemerintah dan swasta sebesar Rp. 482.487 miliar. 

Bandingkan dengan kenaikan PDB berdasarkan harga konstan dalam tahun 2008-2009 yang nilainya hanya sebesar Rp 94.872 miliar. Peningkatan PDB yang merupakan hasil dari seluruh aktifitas ekonomi negara ini bahkan tidak cukup untuk membayar bunga hutang dan cicilan pokok. 

Sementara itu, utang luar negeri Indonesia tidak hanya meninggalkan beban dari sisi nominal utang, akan tetapi implikasi ekonomi politiknya yang besar. Utang luar negeri umumnya dikerahkan untuk mengubah kebijakan ekonomi politik Indonesia agar menguntungkan korporasi multinasional dan negara-negara maju. Sebagai contoh penting adalah Undang Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM). UU ini merupakan bentuk pelanggaran terhadap konstitusi UUD 1945 dikarenakan asas perlakuan yang sama yakni most favoured nation (MFN) dan National treatment yang merupakan preambule WTO dipaksa masuk dalam UU ini secara subversif. 

Seluruh UU Indonesia yang berkaitan dengan keuangan, investasi, perdagangan, dan bahkan perlindungan sosial yang lahir sejak era reformasi sepenuhnya dibiayai oleh lembaga keuangan multilateral IMF, WB dan ADB. Ini berati bahwa penyelenggaran negara dan pemerintahan sepenuhnya dibawah kontrol asing dan menggunakan cara yang sama dengan kolonialisme. 

Selain itu, subversi terhadap konstitusi tidak hanya dilakukan dengan cara meniru/mengadovsi prinsip yang disepakati dalam perjanjian international akan tetapi juga melalui proses ratifikasi. Sebagai contoh diratifikasinya ASEAN CHARTER melalui UU 38 Tahun 2008 tentang pengesahan Piagam ASEAN. Dalam pasal 1 ayat 5 menyatakan bahwa tujuan ASEAN adalah “menciptakan pasar tunggal dan basis produksi yang stabil, makmur, sangat kompetitif, dan terintegrasi secara ekonomis melalui fasilitasi yang efektif untuk perdagangan dan investasi, yang di dalamnya terdapat arus lalu-lintas barang, jasa-jasa dan investasi yang bebas; terfasilitasinya pergerakan pelaku usaha, pekerja profesional, pekerja berbakat dan buruh dan arus modal yang bebas. Piagam berisikan dasar-dasar bagi pembentukan kawasan perdagangan bebas internal ASEAN dan dasar bagi perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Agreement) antara ASEAN dengan negara kawasan lainnya. Hak ekslusif kepada ASEAN dalam menyepakati perjanjian iternational mengkudeta konstitusi, parlemen dan hak demokrasi rakyat. 

Melalui kedua cara itulah konstitusi dasar Pancasila dan UUD 1945 yang menjadi pondamen kehidupan berbangsa bernegara dihancurleburkan. Asas-asasnya yang membentuk hubungan sosial, ekonomi, politik bangsa indonesia digantikan dengan paham-paham asing. Kekeluargaan digantikan dengan individualisme, kerjasama diubah menjadi kompetisi/persaingan yang saling mematikan, musyawarah mufakat diubah menjadi demokrasi mayoritas berkuasa atas minoritas. 

Benar apa yang disampaikan presiden SBY dalam Pidato 17 Agustus 2010 yang mengatakan “Dalam sepuluh tahun pertama reformasi itu, kita telah melangkah jauh dalam melakukan transisi demokrasi, kita telah membongkar dan membangun, kita telah melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi terhadap tatanan dasar dalam kehidupan politik, sosial, hukum, dan ekonomi”. 

Sebuah pengakuan terbuka dari Presiden Republik Indonesia dalam menghilangkan apa yang disebut SBY sebagai... de-bottlenecking atas peraturan perundangan yang menghambat imperialisme dan tidak mengejutkan bila ada yang mengatakan bahwa “ini sesungguhnya adalah revolusi diam-diam, atau the quiet revolution..., dan segala upaya percepatan, debottlenecking ini akan sia-sia kalau kita tidak melakukan perubahan yang paling hakiki, perubahan cara-pandang”. Sebuah cara pandang baru tengah ditularkan yaitu kapitalisme neoliberalisme. 

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa negara Indonesia memang belum merdeka dalam pengertian yang sepenuhnya. Problem utamanya adalah tidak hanya karena semakin ganasnya kolonialisme dan imperialism (Nekolom) akan tetapi penyelewengan elite kekuasaan terhadap amanat penderitaan rakyat. 

Kemerdekaan yang sesungguhnya mensyaratkan kita untuk mencabut kolonialisme sampai ke akar-akarnya. Itu berarti segala bentuk investasi kolonial, utang luar negeri yang imperialistik, adopsi dan ratifikasi peraturan dan hukum kaum imperialis harus dihentikan.
Tegasnya kemerdekaan itu adalah pelaksanaan atas mandate Sumpah Pemuda, cita-cita Proklamasi Kemerdekaan, asas Pancasila, dan tujuan bernegara sebagaimana yang disebutkan dalam UUD 1945. Hanya dengan jalan demikian maka kita bangsa Indonesia benar–benar memiliki jembatan emas untuk mencapai kesejahteraan hidup seluruh rakyat, bukan jembatan lapuk warisan Kolonial. 

sumber : http://petisi28.blogspot.com/2010/08/mencabut-akar-kolonialisme.html